Hari ini
Cuaca 0oC
Headline News :

" Yang Waras yang Ngalah" , Catatan Batin Seorang Santri untuk NU dan Amanah Bah Hasyim Asy’ari

Karawang :Kemarin, setelah acara haul selesai di kediaman Bapak Aminudin Ma’ruf, Wakil BP BUMN di Pakisjaya, saya berdiri dan berjabat tangan dengan KH. Zulfa Mustofa, disaksikan langsung oleh Ketua PCNU Karawang, Ketua FPP Karawang, serta tuan rumah. (22/12/25).
Foto sebatas ilustrasi

Dalam suasana tenang, bukan forum resmi, bukan pula panggung kritik, saya menyampaikan sebuah kalimat yang terdengar ringan, namun sejatinya berat makna:“Sehat, jagjag, waringkas, waras… yang waras yang ngalah.”

Kalimat itu bukan ucapan selamat karena terpilih, sebab faktanya beliau ditunjuk, melainkan satire yang dibungkus doa. 

Disampaikan sambil berjabat tangan, berdiri, dan menatap langsung—bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk mengetuk kesadaran. Begitulah cara santri menyampaikan kegelisahan: tidak berisik, tidak kasar, tapi tidak pula dusta pada nurani.

Saya menyampaikannya sebagai santri yang prihatin, bukan sebagai pembenci NU. Justru karena cinta, maka kegelisahan ini lahir. NU bagi saya bukan sekadar organisasi, melainkan manhaj perjuangan ulama yang diwariskan oleh Bah Hasyim Asy’ari—sebuah rumah besar yang dibangun di atas adab, ilmu, dan kejujuran batin, bukan kepentingan sesaat.

Dalam Qanun Asasi, Bah Hasyim menegaskan bahwa NU berdiri untuk menjaga agama dari penyimpangan, bukan untuk mengejar kuasa. 

Beliau menulis:

انما وضعت هذه القوانين للمحافظة على الدين وخدمة مصالح المسلمين

Bahwa aturan dan bangunan jam’iyah ini diletakkan untuk menjaga agama dan melayani kemaslahatan umat, bukan untuk meninggikan nama, apalagi mengabdi pada kepentingan duniawi.

Bah Hasyim juga menekankan pentingnya adab dan persatuan, bahkan di tengah perbedaan:

يجب على اهل هذه الجماعة ان يتعاونوا على البر والتقوى ويتجنبوا التنازع والتفرق

Wajib bagi warga jam’iyah ini untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa, serta menjauhi pertengkaran dan perpecahan.

Kalimat “yang waras yang ngalah” lahir dari kegelisahan melihat hari ini, ketika yang paling keras sering dianggap paling benar, sementara yang paling waras justru disingkirkan. Padahal dalam tradisi pesantren, ngalah bukan kalah, melainkan tanda kedewasaan jiwa. Yang waras memilih menahan diri karena ia melihat maslahat yang lebih luas daripada ego dan posisi.

Dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, Bah Hasyim mengingatkan bahwa kerusakan umat sering kali bukan karena kurangnya dalil, tetapi karena hilangnya adab dan keseimbangan:

فساد الاحوال انما يكون بفساد الاخلاق وترك الاعتدال

Rusaknya keadaan terjadi karena rusaknya akhlak dan ditinggalkannya sikap moderat.

NU tidak akan hancur karena serangan dari luar. NU bisa rapuh jika kehilangan kewarasan dari dalam. Ketika agama terlalu dekat dengan kuasa, ketika ilmu dikalahkan oleh kepentingan, ketika adab dianggap kelemahan maka di situlah Bah Hasyim paling resah, dan di situlah santri seharusnya bersuara.

Saya tidak datang membawa tuntutan.Saya datang membawa cermin. Dan cermin memang tidak selalu menyenangkan, tetapi ia diperlukan agar wajah tidak lupa bentuknya sendiri.

NU terlalu besar untuk dijadikan alat.

NU terlalu tua untuk kehilangan adab mudanya.

NU terlalu mulia untuk dipimpin tanpa kewarasan.

Maka kalimat itu saya sampaikan berdiri, berjabat tangan, di hadapan para tokoh sebagai doa, sebagai satire, dan sebagai amanah batin seorang santri yang masih percaya bahwa NU bisa kembali lurus jika mau jujur bercermin.

Dan benar adanya bahwa yang waras sering mengalah, justru karena itu ia layak menjaga arah,(*)


Hide Ads Show Ads