Makin Ngeri, Akibat Perang Saudara di Negara Myanmar Berdampak Krisis Kesehatan Lintas Negara
Mae Sot: Perang saudara yang berkepanjangan di Myanmar telah memicu krisis kesehatan lintas batas. Kondisi ini ditandai dengan meningkatnya penyebaran penyakit menular ke negara tetangga, khususnya Thailand, dilansir dari The Straits Times, Jumat (26/12/2025).
![]() |
| Foto ilustrasi: Pejuang Kemerdekaan Kachin berjalan dari garis depan Mu Du menuju pos Hpalap di daerah yang dikuasai oleh pemberontak Kachin di negara bagian Kachin utara, Myanmar,m |
Di kota perbatasan Mae Sot, tenaga medis mulai menemukan kasus penyakit yang sebelumnya jarang terjadi, seperti difteri. Hal ini terjadi seiring derasnya arus pasien dari Myanmar yang melarikan diri akibat konflik.
Lonjakan pasien terjadi setelah kudeta militer 2021 memicu perang saudara dan melumpuhkan sistem kesehatan Myanmar. Rumah sakit dibom, tenaga medis mogok kerja, anggaran kesehatan dipangkas, dan jutaan warga sipil terpaksa mengungsi.
Klinik Mae Tao, yang melayani pengungsi sejak 1989, kini kerap menangani hingga dua kali lipat jumlah pasien dibandingkan sebelum perang. Keruntuhan sistem kesehatan Myanmar juga menyebabkan meningkatnya penyakit yang sebenarnya dapat dicegah melalui vaksinasi, seperti difteri dan batuk rejan.
Myanmar tercatat sebagai salah satu negara dengan jumlah anak tidak divaksinasi terbesar di dunia. Kondisi ini diperburuk oleh serangan militer terhadap fasilitas kesehatan, yang menurut WHO mencapai puluhan kasus sepanjang 2025.
Warga yang mengungsi ke hutan untuk menghindari serangan udara menghadapi ancaman lain berupa malaria dan penyakit menular lainnya. Banyak pasien dilaporkan menderita malaria berulang kali akibat minimnya pengobatan.
Situasi ini menggagalkan upaya Thailand untuk memberantas malaria, dengan kasus di wilayah perbatasan kembali meningkat. Lebih dari tiga juta warga Myanmar kini hidup sebagai pengungsi dengan akses kesehatan yang sangat terbatas.
Mereka kehilangan sarana pencegahan penyakit seperti kelambu, masker, dan layanan medis rutin. Akibatnya, banyak kematian terjadi bukan karena pertempuran, melainkan karena penyakit yang tidak tertangani.
Tekanan juga dirasakan oleh fasilitas kesehatan Thailand. Rumah Sakit Umum Maesot mencatat lonjakan pasien sekitar 50 persen, memicu kelelahan tenaga medis dan pengunduran diri sejumlah dokter.
Meski demikian, pihak rumah sakit menegaskan mereka tidak memiliki pilihan selain terus merawat pasien dari Myanmar. Langkah ini dilakukan demi mencegah kemunculan kembali penyakit berbahaya seperti polio dan kolera.
Para ahli memperingatkan bahwa sebagian besar wilayah Myanmar kini menjadi “titik buta epidemiologi” akibat runtuhnya sistem surveilans kesehatan. Risiko mutasi penyakit, resistansi obat malaria, serta penyebaran TB dan HIV dikhawatirkan dapat berkembang menjadi ancaman bagi kesehatan global.
Kekhawatiran ini semakin besar setelah pemotongan bantuan internasional memperparah krisis kesehatan di kawasan tersebut. Bagi banyak warga Myanmar, akses perawatan di Thailand saat ini menjadi satu-satunya harapan untuk bertahan hidup.(*)

