Headline News

Kecaman Keras Wapres AS Vance ke Israel Soal Aneksasi Tepi Barat

 AS Siapkan Dana Rp850 Triliun untuk Rebuild Gaza, Hanya di Wilayah yang Dipastikan Tanpa Pengaruh Hamas.

 
Foto : Wakil Presiden Amerika Serikat, JD Vance
Amerika Serikat : Wakil Presiden Amerika Serikat, JD Vance, pada hari Kamis (23/10) mengecam keras voting simbolis parlemen Israel (Knesset) sehari sebelumnya mengenai aneksasi Tepi Barat yang diduduki, menyebutnya sebagai "penghinaan" dan bertentangan dengan kebijakan Pemerintahan Trump.

Langkah provokatif oleh kelompok garis keras di parlemen Israel, yang meloloskan mosi awal untuk menganeksasi sebagian Tepi Barat dengan suara tipis 25-24, dipandang sebagai upaya untuk mempermalukan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu saat Vance masih berada di Israel. 

Meskipun kecil kemungkinan untuk menjadi undang-undang, voting tersebut memicu gelombang kecaman.

Reaksi Keras Vance dan Sikap Gedung Putih

Vance tak ragu melontarkan kritik sebelum meninggalkan Israel, menggarisbawahi sikap tegas Washington.

"Secara pribadi saya merasa ini adalah penghinaan," ujar Vance. "Kebijakan pemerintahan Trump adalah Tepi Barat tidak akan dicaplok oleh Israel."

Ia bahkan menyebut manuver politik Knesset itu sebagai "aksi politik yang sangat bodoh" jika memang dimaksudkan demikian. Pernyataan Vance disambut baik oleh Palestina. Wakil Duta Besar Palestina untuk PBB, Majed Bamya, menyatakan, "Palestina menghargai pesan yang jelas" dari administrasi Trump yang menentang aneksasi.

Sementara itu, Kantor Perdana Menteri Netanyahu segera mengeluarkan pernyataan yang menyebut voting aneksasi tersebut sebagai "provokasi politik yang disengaja oleh oposisi untuk menabur perselisihan."

Rekonstruksi Gaza: Butuh Tahun, Biaya Miliaran Dolar

Di sisi lain, Vance juga memaparkan rincian baru rencana AS untuk Gaza. Ia berharap rekonstruksi segera dimulai di beberapa area wilayah yang dideklarasikan "bebas Hamas". Namun, ia memperingatkan bahwa membangun kembali Gaza pasca-perang yang dimulai pada 7 Oktober 2023, dapat memakan waktu bertahun-tahun.
Vance merujuk pada kota paling selatan di Jalur Gaza, Rafah, sebagai salah satu fokus awal.

"Harapannya adalah membangun kembali Rafah selama dua hingga tiga tahun ke depan dan secara teori Anda bisa memiliki setengah juta orang tinggal (di sana)," jelasnya.

Jumlah tersebut mencakup seperempat dari perkiraan 2 juta populasi Gaza, di mana 90% di antaranya menjadi pengungsi selama perang. Dengan estimasi delapan dari 10 bangunan di Gaza rusak atau rata dengan tanah, Bank Dunia, PBB, dan Uni Eropa memperkirakan biaya rekonstruksi mencapai sekitar $53 miliar.

Bantuan dan Tantangan Kemanusiaan Mendesak

Sejak gencatan senjata dimulai, tantangan utama adalah memastikan bantuan kemanusiaan yang memadai dapat masuk dan didistribusikan. Organisasi nirlaba global Oxfam menyuarakan kekecewaan.

"Kami berharap Gaza akan dibanjiri bantuan begitu gencatan senjata dimulai. Tapi bukan itu yang kami lihat," kata Bushra Khalidi, yang mengawasi divisi wilayah Palestina di Oxfam.

Program Pangan Dunia (WFP) menegaskan bahwa lebih banyak penyeberangan ke Gaza perlu dibuka untuk mengurangi kemacetan. WFP sendiri kini telah mengoperasikan 36 pusat distribusi dan berencana meningkatkannya menjadi 145 di Gaza.

Di sektor medis, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengumumkan bahwa 41 pasien kritis dan 145 pendamping telah dievakuasi keluar Jalur Gaza sejak 10 Oktober. Ia menyerukan solidaritas untuk sekitar 15.000 pasien yang masih menunggu izin untuk mendapatkan perawatan medis di luar Gaza (*)
Posting Komentar