KPK Terus Usut Keberadaan Harta Milik Ridwan Kamil Termasuk yang Tersembunyi
Bandung: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti dugaan aset tersembunyi milik mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang tidak tercantum dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Penelusuran ini berangkat dari perkara dugaan korupsi pengadaan iklan Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB).(25/12/25)
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo memastikan Ridwan Kamil akan kembali dipanggil sebagai saksi.
“Masih akan dilakukan pendalaman terkait dugaan aset yang tidak dilaporkan di LHKPN. Itu akan ditelusuri sumber perolehannya,” ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (24/12/2025).
Informasi yang dihimpun menyebutkan, aset tersebut diduga tersebar di Bandung, Bali, dan Seoul, Korea Selatan, salah satunya berupa tempat usaha. KPK menegaskan, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan seluruh harta kekayaannya sebagai bagian dari upaya pencegahan korupsi.
Budi menambahkan, pendalaman aset tersembunyi dilakukan dalam konteks penindakan. “Berangkat dari perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan iklan di Bank BJB,” katanya.
Dalam pemeriksaan lanjutan, penyidik akan mendalami kepemilikan aset serta menelusuri sumber perolehan harta yang tidak tercantum dalam LHKPN Ridwan Kamil.
Sebelumnya, Ridwan Kamil telah diperiksa pada 2 Desember 2025 selama lebih dari lima jam. Pemeriksaan itu mendalami aliran dana nonbudgeter Bank BJB. Usai diperiksa, Ridwan Kamil membantah mengetahui pengadaan iklan maupun menerima aliran dana terkait perkara tersebut.
“Dalam tupoksi gubernur, aksi korporasi BUMD dilakukan oleh teknis masing-masing. Jadi saya tidak mengetahui, apalagi terlibat atau menikmati hasilnya,” tegasnya.
Dalam kasus korupsi Bank BJB ini, KPK telah menetapkan lima tersangka. Mereka adalah mantan Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi dan Pimpinan Divisi Corporate Secretary Bank BJB Widi Hartot, serta sejumlah pihak swasta pengendali agensi periklanan.
KPK menduga terdapat perbuatan melawan hukum dalam pengadaan penempatan iklan ke sejumlah media massa. Kerugian negara akibat perkara ini ditaksir mencapai Rp222 miliar.(*)


