Trump Terapkan Tarif Baru Global Mulai 7 Agustus
Washington: Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani dua perintah eksekutif yang menetapkan tarif baru terhadap barang-barang impor dari lebih dari 67 negara.
Besaran tarif tersebut berkisar antara 15 persen hingga 41 persen, dilansir dari Politico, Sabtu (2/8/2025).
Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari serangkaian kesepakatan dagang baru yang dibuat pemerintahan Trump. Selain itu, langkah ini juga merealisasikan ancaman lama Trump untuk memberlakukan tarif tinggi.
Targetnya adalah negara-negara yang dianggap tidak memberikan konsesi yang cukup dalam hubungan dagang dengan Amerika Serikat. Tarif baru ini dijadwalkan mulai berlaku efektif pada 7 Agustus 2025.
Negara-negara yang terdampak masih memiliki waktu untuk merundingkan penyesuaian atau penurunan tarif sebelum aturan tersebut diberlakukan. Dalam perintah eksekutif tersebut, tarif dasar 10 persen tetap dikenakan terhadap negara-negara yang memiliki surplus perdagangan dengan AS.
Sementara itu, tarif 15 persen dikenakan terhadap negara-negara mitra dagang utama seperti Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. Beberapa negara lain, seperti Filipina, Vietnam, dan Indonesia, mencapai kesepakatan awal untuk menetapkan tarif di angka 19–20 persen.
Namun, bagi negara-negara yang dianggap kecil atau tidak kooperatif, tarif yang dikenakan jauh lebih tinggi. Suriah dikenai tarif sebesar 41 persen, tertinggi dari semua negara, sementara Myanmar dan Laos masing-masing dikenai tarif 40 persen.
Irak dikenai tarif sebesar 35 persen, dan Swiss pun terkena tarif tinggi sebesar 39 persen, meski merupakan negara maju. Gedung Putih menyatakan bahwa mereka masih dalam proses menyelesaikan beberapa kesepakatan tambahan dengan negara lain sebelum tarif diberlakukan.
“Kami sudah memiliki beberapa kesepakatan, dan akan ada lebih banyak lagi,” ujar seorang pejabat senior tanpa merinci lebih lanjut. Trump menegaskan bahwa tarif baru ini bertujuan untuk memperbaiki ketidakseimbangan dalam hubungan dagang dan membentuk sistem yang lebih “resiprokal”.
Negara-negara yang menunjukkan komitmen terhadap kepentingan ekonomi dan keamanan AS akan diperlakukan lebih baik. Sebaliknya, negara-negara yang dianggap lalai atau menolak berkompromi akan menghadapi tarif tinggi.(*)