Ekonom Sarankan Payment ID Ditinjau Kembali
Jakarta: Pemerhati ekonomi Universitas Sebelas Maret, Bhimo Rizky Samudro, menyarankan peninjauan ulang sekaligus penundaan penerapan Payment ID.(15/8/25).
Ia menilai jaminan keamanan data melalui NIK sebagai basis sistem ini belum sepenuhnya jelas. Rencana peluncuran Payment ID oleh Bank Indonesia pada 17 Agustus 2025 memicu pro dan kontra di masyarakat.
Sistem ini diharapkan meningkatkan efisiensi kebijakan fiskal. Namun, memunculkan kekhawatiran privasi data dan potensi penyalahgunaan.
“Kalau dari yang saya pantau respon dari pemerintah atau BI belum jelas terhadap keluhan masyarakat yang berkembang soal keamanan data. Jawabannya kan baru sebatas Payment ID dilaksanakan sesuai regulasi perlindungan data pribadi yang ada (normatif),” katanya, Kamis (14/8/2025).
Bhimo mengatakan UU Perlindungan Data Pribadi masih menunggu penyusunan aturan turunan seperti Perpres atau PP. Ia menegaskan keberadaan regulasi rinci penting sebagai landasan keamanan data jika Payment ID diberlakukan.
“Jika maksud dari Payment ID untuk memantau transaksi mencurigakan, maka PPATK saja sebenarnya sudah cukup. Jika maksudnya membaca profil ekonomi warga negara untuk meningkatkan rasio pajak, ini perlu penjelasan lebih lanjut,” tambahnya.
Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Arianto Hanefa, juga meminta pemberlakuan Payment ID ditunda sampai regulasi perlindungan data pribadi jelas. “Sebaik tunggu dulu sampai turunan UU Perlindungan Data Pribadi rampung disusun,” katanya.
Menurut Arianto, pemerintah dan BI harus membaca kekhawatiran publik yang berkembang di media sosial dan kanal lainnya. Payment ID, katanya, harus memberi kepastian perlindungan data sebelum resmi diberlakukan.
Payment ID bekerja dengan prinsip konsolidasi identitas digital, menghubungkan semua rekening dan instrumen pembayaran digital dengan satu NIK. Setiap transaksi bank, e-wallet, atau QRIS akan terekam real-time dengan detail nominal, waktu, lokasi, dan pihak terkait.
NIK menjadi kunci utama yang menghubungkan seluruh aktivitas keuangan digital seseorang. Hal ini memungkinkan pemerintah mendapat gambaran komprehensif tentang profil ekonomi setiap individu.
Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dudi Dermawan, mengatakan Payment ID merupakan akumulasi data transaksi lintas platform.
Ia mengklaim sistem ini memperkuat transparansi keuangan dan memudahkan pelacakan transaksi ilegal seperti judi online dan pencucian uang.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menegaskan, Payment ID tidak digunakan untuk memata-matai transaksi pribadi masyarakat. Pemerintah hanya ingin memonitor transaksi aneh yang dilakukan masyarakat untuk tujuan pengawasan keuangan.(*)