Headline News

Israel dan Hamas Menuju Fase Kedua Rencana Perdamaian

 Peran Pasukan Stabilisasi Gaza Dibayangi Ketidaksepakatan; Israel Klaim 'Garis Kuning' Jadi Perbatasan Baru

Kru Pertahanan Sipil Gaza mencari sisa-sisa korban di puing-puing bangunan yang hancur di kamp pengungsi Bureij, di Jalur Gaza bagian tengah (Foto: AFP)

Karawang : Ketika Israel dan Hamas bersiap untuk beralih ke fase kedua dari cetak biru yang dipimpin Amerika Serikat guna mengakhiri konflik di Gaza, perbedaan pendapat mencuat atas peran yang belum didefinisikan dari pasukan stabilisasi internasional di wilayah Palestina yang terkepung itu.

Perkembangan ini terjadi di tengah klaim militer Israel bahwa garis demarkasi yang disebut "garis kuning" kini berfungsi sebagai "perbatasan baru" di Gaza, sebuah langkah yang menimbulkan pertanyaan besar mengenai kedaulatan dan penarikan pasukan.

Seorang pejabat senior Hamas, Basem Naim, pada Minggu 7 Desember 2025 (waktu setempat) menyatakan bahwa rancangan AS masih memerlukan "banyak klarifikasi." Meskipun kelompoknya siap membahas "pembekuan atau penyimpanan" senjata selama gencatan senjata, Naim menegaskan penolakan keras terhadap pasukan stabilisasi internasional yang mengambil alih mandat perlucutan senjata.

"Kami menyambut baik pasukan [PBB] untuk berada di dekat perbatasan, mengawasi perjanjian gencatan senjata, melaporkan tentang pelanggaran, mencegah segala jenis eskalasi," kata Naim. Ia menambahkan bahwa Hamas tidak akan menerima pasukan tersebut memiliki "mandat apa pun" di wilayah Palestina.

Komentar Naim muncul setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan pada hari yang sama bahwa ia akan bertemu dengan Presiden AS Donald Trump untuk membahas fase baru rencana tersebut. Fokus utama pertemuan itu, katanya, adalah mengakhiri pemerintahan Hamas di Gaza dan memastikan terpenuhinya "komitmen" terhadap rencana yang menyerukan demiliterisasi daerah kantong tersebut.

"Kita memiliki fase kedua, tidak kalah menantang, yaitu mencapai pelucutan senjata Hamas dan demiliterisasi Gaza," ujar Netanyahu saat konferensi pers bersama Kanselir Jerman, Friedrich Merz, yang sedang berkunjung.

Belum jelas apakah tawaran Naim mengenai pembekuan atau penyimpanan senjata akan memenuhi tuntutan Israel untuk pelucutan senjata secara penuh. Naim menegaskan bahwa kelompoknya mempertahankan "hak untuk melawan," dan mengisyaratkan bahwa peletakan senjata dapat terjadi sebagai bagian dari proses menuju pembentukan negara Palestina, dengan kemungkinan gencatan senjata jangka panjang selama lima hingga sepuluh tahun.

Ambiguitas Rencana dan Klaim "Garis Kuning"

Rencana 20 poin yang dirancang AS ini memberikan jalan umum ke depan, termasuk pembentukan pasukan stabilisasi dan pemerintahan teknokrat Palestina di bawah "dewan perdamaian" internasional, tetapi tidak menawarkan rincian konkret atau garis waktu yang jelas.

Netanyahu sendiri tampaknya mengakui ambiguitas rencana tersebut. "Apa garis waktunya? Pasukan apa yang akan datang? Akankah kita memiliki pasukan internasional? Jika tidak, apa alternatifnya? Ini semua adalah topik yang sedang dibahas," katanya pada Minggu 7 Desember 2025.

Sementara itu, militer Israel mengklaim bahwa garis demarkasi tempat pasukan Israel mundur, yang disebut "garis kuning," kini adalah "perbatasan baru."

"Kami memiliki kontrol operasional atas sebagian besar Jalur Gaza, dan kami akan tetap berada di garis pertahanan tersebut," kata Kepala Staf Militer Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir. "Garis kuning adalah garis perbatasan baru, berfungsi sebagai garis pertahanan maju untuk komunitas kami dan garis kegiatan operasional." Klaim ini muncul meskipun pasukan Israel dilaporkan masih mengontrol 53 persen wilayah Gaza.

Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani, Perdana Menteri Qatar, memperingatkan pada Forum Doha pada Sabtu bahwa gencatan senjata berada pada "momen kritis" dan bisa saja gagal tanpa adanya gerakan cepat menuju kesepakatan permanen. 

Ia menekankan bahwa gencatan senjata sejati "tidak dapat diselesaikan kecuali ada penarikan penuh" pasukan Israel, di samping pemulihan stabilitas dan kebebasan bergerak bagi warga Palestina.

Di tengah momentum yang berkembang untuk fase kedua rencana perdamaian, pejabat Israel dan Qatar dilaporkan bertemu dengan rekan-rekan AS dalam upaya membangun kembali hubungan pasca-serangan udara Israel di Doha pada September, lapor Axios, mengutip sumber anonim.(*)
Posting Komentar