DPR Dukung Rencana Adanya Penyetaraan Antrian Haji, Tapi Minta Kajian Serius
Font Terkecil
Font Terbesar
Jakarta : Komisi VIII DPR RI meminta Kementerian Haji dan Umrah segera melakukan sosialisasi dan menyusun langkah strategis terkait rencana penyetaraan masa tunggu haji menjadi 26–27 tahun untuk seluruh provinsi di Indonesia. (2/10/25).
Usulan ini dinilai sebagai langkah menuju pemerataan, tetapi harus dilaksanakan secara cermat agar tidak menimbulkan dampak sosial yang merugikan calon jamaah.
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Golkar, Aprozi Alam, menyampaikan apresiasi atas niat baik pemerintah menyamakan masa tunggu haji dari Aceh hingga Papua. Namun ia menekankan perlunya kajian mendalam agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan baru.
“Kami di Komisi VIII, khususnya Fraksi Partai Golkar, menyambut baik niat baik Kementerian Haji dan Umrah untuk menciptakan keadilan dalam pembagian kuota. Kebijakan ini, jika diterapkan, pada dasarnya menjawab keresahan jamaah di daerah dengan antrian panjang yang merasa haknya tidak setara dengan daerah lain. Ini adalah momentum untuk memperbaiki sistem yang selama ini dianggap timpang,” ujar Aprozi dalam keterangannya, Rabu, 1 Oktober 2025.
Selama ini, masa tunggu haji di Indonesia bervariasi antarprovinsi.
Berdasarkan data Kementerian Agama hingga akhir 2023, provinsi seperti Jawa Barat memiliki masa tunggu mencapai 30–40 tahun, sementara di Papua Barat bisa di bawah 15 tahun. Perbedaan ini terjadi karena pembagian kuota berdasarkan populasi Muslim dan sistem pendaftaran di masing-masing daerah.
Dalam rapat kerja antara Komisi VIII DPR RI dan Kementerian Haji dan Umrah pada 30 September 2025, Menteri Haji dan Umrah Gus Irfan Yusuf mengusulkan penyetaraan antrian jamaah haji menjadi 26–27 tahun secara nasional. Hal ini disampaikan sebagai upaya menyesuaikan pembagian kuota dengan amanat Undang-Undang.
Aprozi mengingatkan, kebijakan ini bisa menjadi “pisau bermata dua”.
“Yang harus kita pahami, kebijakan ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan keadilan prosedural. Di sisi lain, ia berpotensi menimbulkan ‘kejutan’ dan ketidakadilan substantif bagi jutaan calon jamaah yang telah lama mengantri dengan ekspektasi berdasarkan sistem lama,” jelasnya.
Ia menyoroti dampak penyesuaian masa tunggu bagi daerah yang saat ini masa tunggunya relatif pendek, seperti di Indonesia Timur. Lonjakan waktu tunggu secara drastis dapat memicu kekecewaan.
“Ini bisa menimbulkan kekecewaan dan rasa tidak adil dari calon jamaah di daerah tersebut yang telah berencana berdasarkan perkiraan lama. Pemerintah harus menyiapkan skenario komunikasi publik yang sangat baik untuk hal ini,” tegasnya.
Sementara itu, bagi provinsi dengan masa tunggu sangat panjang seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, kebijakan ini justru akan menguntungkan karena memangkas masa tunggu. Namun, hal itu tetap membutuhkan kesiapan dari segi infrastruktur pelayanan dan pembinaan.
Aprozi juga mengingatkan agar kebijakan ini tidak berdampak pada pengurangan kuota nasional haji Indonesia.
“Kita harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak malah mengurangi kuota Indonesia secara keseluruhan. Diplomasi yang kuat dengan Pemerintah Arab Saudi tetap kunci untuk mempertahankan dan jika mungkin menambah kuota kita,” ujarnya.
Keberhasilan program ini, menurutnya, sangat bergantung pada kesiapan sistem data yang terpadu dan transparan.
“Kementerian Haji dan Umrah harus memastikan sistem database haji terpadu benar-benar siap, akurat, dan transparan untuk mencegah manipulasi data dan memastikan perpindahan antrian berjalan mulus,” tambahnya.
Aprozi menekankan pentingnya pemetaan dampak kebijakan terhadap semua provinsi. Ia mendorong adanya dialog menyeluruh antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan DPRD guna menyosialisasikan rencana ini kepada masyarakat.
“Kebijakan ini adalah sebuah terobosan yang berani. Tujuan akhirnya mulia, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tugas kita bersama, terutama Pemerintah dan DPR, adalah memastikan jalan menuju keadilan itu tidak menimbulkan luka baru. Mari kita sambut dengan pikiran terbuka, namun kita kawal dengan sikap kritis dan responsif untuk melindungi hak-hak calon jamaah haji Indonesia,” tutup Aprozi Alam.(*)