Ziarah Thudong, Biksu Thailand Rayakan Waisak di Borobudur
Yogyakarta: Sebanyak 36 biksu asal Thailand tiba di Candi Borobudur pada Sabtu (10/5/2025) sore. Hal ini menandai puncak dari ziarah spiritual mereka dalam rangka perayaan Hari Waisak yang jatuh pada hari Senin (12/5/2025).
Ziarah ini merupakan bagian dari International Thudong 2025, sebuah perjalanan religius yang dimulai pada 6 Februari dari Sanam Luang, Bangkok. Para biksu menempuh perjalanan sejauh lebih dari 2.500 kilometer dengan berjalan kaki.
Melansir dari Bangkok Post, para biksu tersebut melintasi empat negara yaitu Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Tujuan akhirnya adalah Candi Borobudur, situs Warisan Dunia UNESCO sekaligus candi Buddha Mahayana terbesar di dunia di Jawa Tengah.
Ini merupakan penyelenggaraan ketiga International Thudong, setelah edisi pertamanya pada tahun 2023 dan 2024. Para biksu memasuki wilayah Indonesia melalui Kota Batam pada 16 April, lalu melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan pesawat.
Dari Jakarta, mereka kembali melanjutkan ziarah mereka dengan berjalan kaki menuju Borobudur. Kedatangan para biksu pada pukul 16.20 WIB disambut dengan hangat oleh masyarakat dari berbagai latar belakang agama, termasuk umat Muslim dan Kristen.
Warga memberikan bunga dan berpartisipasi dalam meditasi bersama sebagai simbol harmoni antarumat beragama. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama, juga menyatakan komitmennya untuk menjamin keselamatan para biksu selama berada di Indonesia.
Dalam pernyataannya kepada media, Phra Khru Wichai, biksu senior berusia 53 tahun dari Wat Khao Phiseu Thongkham di Provinsi Phetchabun, menyampaikan rasa harunya. Ia merasa sangat tersentuh saat tiba di Borobudur.
Ia mengatakan kunjungannya ke Indonesia dan melihat patung Buddha di stupa utama terasa seperti menemukan bagian dirinya yang selama ini hilang. Menurutnya, setiap batu penyusun Borobudur mencerminkan kekuatan spiritual dan iman kolektif umat manusia yang membangun sesuatu yang agung.
Ia juga memuji kerukunan antarumat beragama di Indonesia, menyebutnya sebagai wujud nyata dari “persatuan dalam keberagaman”. Bagi Phra Khru Wichai, meski berbeda agama dan bahasa, setiap orang memiliki cita-cita bersama, yaitu hidup damai melalui toleransi.
“Thudong ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan cahaya spiritual yang memandu kita untuk bekerja sama lintas keyakinan demi membawa kedamaian ke dunia yang terpecah,” ujar Phra Khru Wichai.(*)